Kalau kita sering berkunjung ke pusat perbelanjaan elektronik, mungkin yang pertama kali menarik perhatian anda adalah sebuah stereo set yang memiliki beberapa deret speaker 'monster' di kiri dan kanannya. Lalu yang paling menyolok adalah ada embel-embel banner kertas tertempel mentereng di speakernya yang bertuliskan 2000 W PMPO. Harganya lumayan murah dan yang jelas dalam benak anda tentu dengan power sebesar ini suaranya akan mengelegar dan membahana. Ditempat lain ada satu stereo set compo yang hampir sama besar susunan speakernya tetapi kalau diperhatikan spesifikasinya yang dengan tulisan kecil terbaca hanya 100 W RMS. Dari kenyataan ini, kalau anda sedang menimbang-nimbang untuk membeli sebuah compo, tentu pilihan akan jatuh pada stereo set yang pertama. Sebab dengan harga yang relatif sama bahkan mungkin lebih murah, anda bisa membuat tetangga iri dengan suara compo yang menggelegar itu. Namun setelah anda mencoba-coba compo yang dipajang ditoko tersebut, suara dari compo yang kedua ternyata bisa juga diumbar sama seperti stereo set yang pertama. Kemudian, kalau diteliti lagi ternyata kebutuhan energi listrik dari kedua set audio tersebut kira-kira 170 W. Dengan notasi power rating 100 W RMS, masih dapat dimaklumi ada efisiensi perangkat sehingga power audio yang dihasilkan wajar kalau lebih kecil dari energi listrik yang dikonsumsi. Lalu bagaimana mungkin energi 170 W sekecil ini bisa menghasilkan power sebesar 2000 W PMPO.
Satuan Watt
Bagi konsumen tentu persepsi dari bahasa iklan dari power rating ini bisa jadi membingungkan. Lalu apakah bahasa iklan ini menggambarkan hal yang sebenarnya. Adakah mitos tersembunyi dibalik spesifikasi ini dan bagaimana sebenarnya rating ini dibuat. Sebagai penggemar dan peminat elektronika, tentu kita sudah mengenal satuan watt yang menunjukkan besar daya, tenaga atau power. Dalam hal ini yang dimaksud adalah daya amplifier dari satu sistem penguat audio dan hasil akhirnya adalah tingkat kebisingan (loudness) yang keluar lewat speaker. Secara matematis power diitulis dengan P = V.I dan dengan hukum ohm maka P = V2/R dengan satuan watt (W). R adalah impedansi pada setiap tahap keluaran dan pada keluaran akhir R tidak lain adalah impedansi dari speaker yang besarnya standard 8 Ohm. Ketika alunan musiknya lembut dan pelan, tentu power yang keluar lewat speaker juga pelan dan kita ketahui daya yang keluar secara matematis akan lebih kecil. Misalya tegangan keluar ke speaker adalah 10 volt AC sehingga dayanya pada saat itu adalah P = 102/8 = 12.5 W. Namun ketika aluanan suara musiknya keras, tegangan keluar pada speaker menjadi lebih besar misalnya 20 volt AC, dan pada saat itu daya yang keluar adalah P = 202/8 = 50 W. Sebenarnya nilai power dalam watt belum sepenuhnya menunjukkan tingkat kebisingan. Besaran tingkat kebisingan di ukur dengan satuan dB yang logaritmis sesuai dengan telinga manusia yang merespons suara juga secara logaritmis. Tingkat kebisingan juga masih tergantung dari efisiensi speaker yang mentransformasikan energi listrik menjadi energi suara. Sebagian lagi terbuang menjadi energi panas.
Pengujian power rating RMS
Musik adalah gelombang sinusoidal yang frekuensi dan besar tengangannya tidak konstan melainkan naik turun sesuai dengan alunan musiknya. Tegangan ini bisa negatif dan bisa juga positif. Standard pengukuran spesifikasi rating daya keluaran sistem audio adalah dengan menginjeksi sinyal sinusoidal pada inputnya. Dengan menggunakan frekuensi pada rentang 20 Hz - 20 KHz. Ini adalah rentang frekuensi suara yang dapat didengar oleh manusia. Beberapa pabrikan melakukan test hanya pada frekuensi 1 KHz saja. Pengukuran yang lebih fair adalah dengan menginputkan sinyal pink noise yaitu sinyal gabungan dari banyak frekuensi pada rentang 20Hz - 20kHz. Lalu volume suara dinaikkan sampai terjadi cacat distorsi pada gelombang keluarannya. Cacat distorsi ini dikenal dengan sebutan THD (Total Harmonic Distorsion) yaitu sampai terjadinya clipping pada puncak gelombang keluar yang dihasilkan. Gambaran gelombang ini mudah diketahui dengan menggunakan osiloskop. Batasan inilah yang menjadi acuan batas maksimum dari power yang dapat dihasilkan oleh suatu sistem audio.
Cacat distorsi atau clipping dapat disebabkan oleh batasan dari sistem penguat (amplifier), batasan komponen dan juga batasan dari sistem power supply. Batasan power supply menjadi penting, sebab ini merupakan sumber energi dari suara yang dihasilkan. Jika volume suara makin menggelegar tentu saja diperlukan power supply yang stabil untuk mencapainya. Jika sudah diketahui sampai dimana tegangan keluar maksimum, maka akan diketahui berapa nilai tegangan puncak (peak) yang dapat dihasilkan tanpa cacat (atau hampir cacat). Karena gelombang sinus naik turun, tentu tidak dengan serta merta nilai tegangan peak yang diambil untuk menghitung nilai power rating sistem audio tersebut. Melainkan dengan menggunakan nilai tegangan RMS (Root Mean Square). Kalau diterjemahkan ini adalah tegangan rata-rata akar kuadrat yaitu representasi tegangan DC dari sinyal AC (sinusoidal). Tengangan sinusoidal ini secara matematis adalah Vt=Vp sin (wt), Vp adalah tegangan puncak dan w = 2pf . Dengan pendekatan rumus integral sinus kuadrat diperoleh tegangan rata-rata VRMS = Vp/Ö2 atau kira-kira = 0.707 Vp. Dengan demikian power atau daya dapat dihitung dengan PRMS = (VRMS)2/R. Beberapa pabrikan masih mentolerir besar distorsi 1 % - 10 %. Standard pengujian yang benar akan mencantumkan nilai atau rentang frekuensi uji dan besar nilai toleran distorsi. Misalnya dengan mencantumkan pada spesifikasi teknisnya 50 W RMS 1% THD atau 65 W RMS 10% THD plus dengan catatan pada frekuensi berapa hasil uji dilakukan.
Power rating PMPO
Musik pada kenyataannya bukanlah gelombang sinusoidal yang konstan. Melainkan gabungan dari beberapa harmonisasi gelombang yang terkadang keras dan terkadang pelan. Dalam satu alunan musik barangkali hanya 40% yang keras. Dengan asumsi demikian, maka tentu power supply dari sistem audio yang bersangkutan akan masih mampu mensuplay arus lebih besar. Sistem akan masih dapat memberikan tegangan peak yang lebih tinggi dan halhasil adalah penunjukkan power yang lebih besar. Dari sinilah muncul istilah PMPO (Peak Music Power Output). Pabrikan bisa saja mengasumsikan persentasi sinyal musik secara berlainan misalnya hanya 10% - 20 %. Bahkan yang sangat ekstreem adalah lebih kecil dari 1 %, serta pengujiannya dilakukan dengan menggunakan sinyal input yang berupa sinyal kejut hanya beberapa milisecond saja. Dengan cara ini tentu saja sistem dengan penguatannya yang maksimum akan mampu menghasilkan tegangan peak yang sangat tinggi tanpa cacat distorsi. Tegangan ini dapat mencapai misalnya 63 VAC, yang jika dihitung powernya adalah P = 632/8, kira-kira = 500 PMPO. Tentu saja keadaan ideal ini tidak akan tercapai pada kondisi sebenarnya. Pengukuran PMPO bukanlah suatu standard industri atau dengan kata lain tidak ada standard pengukuran yang baku. Istilah ini menurut hemat penulis adalah bahasa iklan untuk keperluan komersial. Tujuannya agar sistem terlihat lebih garang dan tentu saja dapat mendongkrak penjualan yang lebih banyak. Untuk itu sebagai konsumen pembeli, harus kritis dan teliti. Misalnya jika disebutkan power sistem audio incaran tertulis 4500 W PMPO. Kalau diteliti mungkin ini total penjumlahan untuk 5 kanal yaitu kanal depan kiri dan kanan, kanal belakang kiri dan kanan serta satu kanal sub woofer.